Kakawin ini
menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam
Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun
1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu
kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini
tentu saja menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit
yang harus menghaturkan upeti. Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh.[1]
Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan
sangat rapi. Pupuh 1 sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya.
Pupuh 8 sampai 16 menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17
sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49
menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40
sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang
sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk.
Pupuh 1 - 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini.
Bagian kedua dari
naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh, terbagi dalam uraian
sebagai berikut: Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang
sedang berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah
perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh yang dibawa
pulang dari pelbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan
perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada dan ziarah ke
makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang berita kematian Patih
Gadjah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci yang terdapat
di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang
berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta
tahunan. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca
kepada Raja Hayam Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan
tentang pujangga prapanca yang menulis naskah tersebut.
Kakawin ini
bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan
Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit. Akan tetapi
karya ini bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan
untuk politik pencitraan diri ataupun legitimasi kekuasaan. Melainkan murni
kehendak sang pujangga Mpu Prapanca yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang
mahkota, serta berharap agar sang Raja ingat sang pujangga yang dulu pernah
berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini disusun setelah Prapanca
pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama Prapanca sendiri merupakan nama
pena, nama samaran untuk menyembunyikan identitas sebenarnya dari penulis
sastra ini. Karena bersifat pujasastra, hanya hal-hal yang baik yang
dituliskan, hal-hal yang kurang memberikan sumbangan bagi kewibawaan Majapahit,
meskipun mungkin diketahui oleh sang pujangga, dilewatkan begitu saja. Karena
hal inilah peristiwa Pasunda Bubat tidak disebutkan dalam Negarakretagama,
meskipun itu adalah peristiwa bersejarah, karena insiden itu menyakiti hati
Hayam Wuruk. Karena sifat pujasastra inilah oleh sementara pihak
Negarakretagama dikritik kurang netral dan cenderung membesar-besarkan
kewibawaan Hayam Wuruk dan Majapahit, akan tetapi terlepas dari itu,
Negarakretagama dianggap sangat berharga karena memberikan catatan dan laporan
langsung mengenai kehidupan di Majapahit
Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar