SRAGEN – IRAMA musik mengalun dengan suara merdu. Suara gong,
dipadu kendang dengan irama rancak saling menjalin, memacu semangat seorang
penari Tayub yang bergoyang tanpa lelah. Tampak mimiknya yang ekspresif dengan
geraknya yang gemulai, mereka berjoget mengikuti irama tembang-tembang Jawa
populer. Kadang tampil sedikit atraktif, yang sangat menggoda perhatian para
tamu. Kesenian ini memang sangat elok untuk ditonton. Seakan mata tak lelah
tertuju pada para penari.
Kesenian tayub memang sudah tidak asing, terlebih bagi warga
di daerah Sragen dan sekitarnya. Tayub adalah seni pertunjukan yang dianggap
sebagai kesenian rakyat yang muncul pertama kali pada jaman Kerajaan Singosari.
Pertunjukan tayub saat ini biasa dilaksanakan warga untuk memeriahkan acara sunatan
dan pernikahan.
Tayub pada mulanya merupakan ungkapan kegembiraan untuk
menyambut kedatangan tamu dan merupakan bagian dari pesta rakyat. Kesenian ini
berupa pertunjukan yang berbentuk tari berpasangan antara tledhek atau joged
dengan penari lelaki sebagai penayub. Penari Tayub biasanya mengawali pentas
dengan membawakan Tari Gambir Anom, sebuah tarian klasik dengan gaya lemah
lembut. Setelah itu, mereka menarikan irama-irama yang sedikit rancak. Yang
unik dari tarian ini adalah ikut sertanya para penonton atau tamu untuk menari
bersama dengan penari Tayub. Tamu yang dipandang terhormat biasanya akan
didaulat ikut menari dengan ditandai dikalungkannya sebuah sampur.
Tentang istilah tayub sendiri ada beberapa pendapat. RT.
Suparno Hadipura, S.Pd salah seorang pemerhati kesenian Tayub di Kecamatan
Jenar Sragen, menyebutkan “Tayub” berasal dari kata ”Toto lan Guyub” (ditata
biar kompak) tatanan sing guyub, yang maknanya tingkah dan gerak harus kompak
lahir batin. Kompak antara penari, waranggana dengan penari pria dan penabuh
gamelan.
Suparno menyebut tayub merupakan salah satu kesenian yang
adiluhung. Kesenian Tayub, mengandung filosofi atau pitutur yang tinggi, dalam
bahasa Jawa kesenian Tayub mengandung makna ”sapa kang duwe gegayuhan lamun
bisa nyingkirake ing panggoda utowo pepalang bakal bisa kasembadan ing sedya”.
Arti dalam Bahasa Indonesia, Siapa yang mempunyai cita-cita, harus bisa tahan
terhadap segala godaan. Godaan disini dilambangkan dengan penari utama yang
disebut Tledek dan penari pengiring yang berada dibelakang tledek yang disebut,
Panglareh. Sementara simbol yang mengajak kepada kebaikan di perankan oleh
Pangarih. Pangarih merupakan penari pengiring yang berada di belakang Panglaras
atau orang yang medapatkan sampur. Penari Tledek dan Panglaras akan menari
berhadap-hadapan. Tledek dan Panglareh akan menggoda Panlaras. Sementara,
Pangarih berperan untuk mengajak Panglaras agar tidak terpengaruh godaan dan
mengajak kepada kebaikan.
Sejarah Kesenian Tayub
Tayub mulai dikenal sejak jaman Kerajaan Singosari. Pertama
kali digelar pada waktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub
berkembang ke Kerajaan Kediri dan Mojopait. Pada Jaman Kerajaan Demak, kesenian
Tayub jarang dipentaskan. Pada waktu Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub hanya
dapat dijumpai di daerah pedesaan-pedesan yang jauh dari pusat kota kerajaan.
Seiring berjalannya waktu, sejak berdirinya kerajaan Pajang
dan Mataram, kesenian ini mulai digali kembali. Malahan pada waktu itu Tayub
dijadikan Tarian Beksan di Keraton yang digelar hanya pada waktu acara-acara
khusus. Namun disayangkan, penjajah Belanda memasukkan unsur negatif yang
dikenal dengan 3C, Cium, Ciu dan Colek. ”Dalam tarian tersebut dimasukkan
minuman keras, tujuannya agar mengacaukan rasa persatuan. Dengan mabuk, orang
kemudian bisa gampang tersinggung, bertengkar, dan sebagainya. Sejak saat
itulah penilaian terhadap tayub menjadi negatif,” katanya.
Tayub yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah
belanda terus terpelihara hingga pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono
III. Sewaktu pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak
berkenan dengan adanya pengaruh negatif tersebut. Akhirnya Tayub ditetapkan
sebagai tari Pasrawungan di masyarakat. Selanjutnya kesenian tayub mengalami perkembangan
di daerah Sragen, Wonogiri dan Purwodadi. Di daerah Sragen sendiri, kesenian
Tayub banyak berkembang di Kecamatan Jenar, Gesi, Sukodono, Mondokan dan
Ngrampal.
Citra kesenian tayub pada waktu itu, diperburuk ulah para
penari pria atau penonton. Dulu, para penari ini biasa memberi sawer dengan
cara memasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Dengan demikian muncul
kesan bahwa penayub itu ”murahan”. Tetapi, di era sekarang hal semacam itu
sudah amat jarang terjadi.
Menepis Kesan Miring
Kesan miring para penari tayub, dahulu memang sangat terasa.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, kebiasaan yang tinggalan penjajah
tersebut kian lama kian menipis. ”Bahkan sekarang ini kebiasaan negatif 3C pada
tayub tidak pernah ada,” ungkap Suparno.
Pakaian yang dikenakan para penari pun seiring perjalanan
waktu, juga mengalami pergeseran. Kalau dulu pakaian yang dikenakan penari,
biasanya hanya mengenakan kemben sebatas dada. Saat ini tampak lebih sopan.
Pakaian yang dikenakan tidak ubahnya seperti pakaian wanita adat Jawa
kebanyakan.
Tolak Image Negatif
Image negatif yang melekat pada para penari tayub ini ditepis
oleh para penari tayub. Menurut Juniati (27), salah seorang penari Tayub asal
Jenar, dilihat dari pakaiannya saja penari tayub jauh lebih sopan dibandingkan
penyanyi dangdut atau campur sari. Pakaian penari tayub sekarang sudah jauh
berbeda dengan penari tayub dijaman dulu. Sementara para penyanyi dangdut
ataupun penyanyi campursari yang sering kali tampil di televisi, kadang masih
mengenakan pakaian yang seksi. Para penari Tayubpun juga tidak rela bila penari
dikonotasikan negatif. ”Tayub sekarang sudah berbeda dengan tayub jaman
penjajah dulu, sekarang sudah tak ada kebiasaan-kebiasaan yang negatif seperti
pada jaman dulu,” tegas Juniati.
Tak Kian Redup
Meski berkembang dalam lingkungan musik modern, popularitas
Tayub tidak kian redup. Kesenian ini masih banyak dijumpai pada acara-acara
hajatan di beberapa desa di wilayah Kabupaten Sragen. Tantangan yang kini
dihadapi tidak ringan. Perkembangan musik-musik modern dikawatirkan akan dapat
menenggelamkankan kesenian Tayub, bila tidak diuri-uri sedini mungkin. Namun,
menurut Suparno, di Kabupaten Sragen ada seniman-seniwati yang masih masih
peduli terhadap kesenian ini. ” Saya sendiri dan beberapa rekan seprofesi telah
beberapa kali menciptakan syair-syair gendhing pengiring tarian tayub,
tujuannya adalah agar kasenian ini tetap lestari” terang Suparno. Salah satu
upaya untuk melestarikan kesenian tayub, pada acara-acara resmi di kantor
kecamatan, tak jarang kesenian tayub tersebut di pentaskan.
Regenerasi tidak mati
Regenerasi penari Tayub di Kabupaten Sragen sendiri telah
berjalan dengan cukup baik. Hal ini terbukti dengan banyaknya penari yang
mayoritas berusia muda antara 20 hingga 30 tahunan. Biasanya mereka memiliki
paras yang cantik dan berbadan bagus. ”Penari yang usianya telah menginjak
paroh baya, biasanya mewariskan kesenian ini pada anak ataupun kerabatnya, jadi
saya kira tidak perlu dikawatirkan bila regenerasi kesenian ini akan mati”
jelasnya. Meskipun kesenian ini tidak bisa dijadikan tumpuan hidup, ternyata
perkembangan kesenian ini tidak mati. ”Karena biasanya Tayub dipentaskan pada
malam hari, sehingga pada siang hari para group kesenian ini bisa mencari
penghasilan lain, biasanya mereka adalah petani, tukang atau wirausawan yang
mempunyai usaha kecil dan menengah lainnya” terang Suparno. (Hart – Humas)
Daftar Pustaka:
Hart. 2008. Tayub,
Kesenian yang tak Pernah Redup. Sragen.
http://www.sragenkab.go.id/berita/berita.php?id=6962. Akses: 31 Maret 2011,
Pukul 20:22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar