Posted
on Juli 4, 2012by f.nugroho
sebelumsaya
menulis dan anda membaca lebih jauh, tulisan ini tidak bermaksud meninggikan
suatu budaya, dalam hal ini budaya jawa, atas budaya lain dan merendahkan
budaya lain tersebut, tapi karena latar belakang kehidupan saya berasal dari
suku jawa dan hidup di lingkungan jawa, jadi saya lebih dekat dengan budaya
jawa daripada budaya dari suku lain. dan dalam hal ini pun saya bukan sebagai
pengamat bahasa karena disiplin ilmu saya bukan di sana. tapi, fenomena yang
ada ini sangat mungkin terjadi pula pada budaya suku lainnya dimana budaya dan
adat istiadat yang dahulu kita bangga-banggakan kini kian luntur dan semakin
ditinggalkan. bahkan masyarakat yang ada pun semakin asing dengan budayanya
sendiri. dan bahasa jawa hanyalah salah satu dari sekian budaya jawa yang
semakin asing. saya pun mengakui dalam hal berbahasa masih sangat jauh dari
baik, hanya saja ada harapan dalam diri saya, semoga dengan keprihatinan saya
ini bisa membawa diri saya dan orang di sekitar saya bisa lebih baik dalam
berbahasa.
bahasa
secara umum adalah sebuah alat untuk saling berkomunikasi. dalam budaya jawa,
bahasa bukan sekedar alat komunikasi. bahasa adalah bagian dari budaya.
sehingga, menggunakan bahasa jawa yang baik dan benar sudah sebagian dari meninggikan
sebuah budaya. dan dalam budaya jawa, etika dan sopan santun adalah sebuah
nilai yang sangat ditinggikan. jadi, ketika kita menggunakan bahasa jawa, kita
dapat menilai seberapa besar orang yang berbicara tersebut dalam beretika dan
sopan santun. dalam bahasa jawa, terdapat beberapa “kasta” antara lain ngoko,
krama alus, krama inggil, dan sebagainya yang mencapai tujuh tingkatan. kita
sering salah kaprah bahwa kalau tingkat kesopanan ditentukan dengan seringnya
menggunakan basa jawa krama. hal tersebut salah besar. karena sebenarnya
besarnya kesopanan ditentukan dengan bagaimana kita menempatkan diri dalam
menggunakan “tingkatan” bahasa tersebut.
dalam
bahasa jawa, satu kata dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dalam
beberapa kata. misal kata jalan, dapat diterjemahkan dengan kata tindak,
mlampah, mlaku, dan lain-lain. kesalahan yang sering terjadi adalah demi
disebut sebagai orang yang sopan, kita selalu menggunakan kata “tindak” kepada
siapapun lawan bicara kita. padahal, bisa jadi yang terjadi adalah bumerang
yang menjadikan kita tidak sopan. sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, kita
harus bisa menempatkan diri dengan siapa dan di mana kita berbicara. misal
ketika kita berbicara mengenai orang yang lebih tua, akan lebih baik jika
menggunakan kalimat “ibu tindak pasar”, mengenai diri kita atau orang yang
lebih muda, “kula mlampah dateng pasar”.
kelihatannya
sepele, tapi jika kita tidak bisa menempatkan diri pada hal yang sepele saja,
bagaimana kita bisa menempatkan diri dengan baik di sistem yang lebih besar?
dan sayangnya, dalam hal yang sepele seperti ini saja, banyak orang jawa yang
tidak bisa melakukannya dengan semestinya. seperti membedakan kapan menggunakan
kata “caos” dan “paring” yang keduanya sama-sama berarti “memberi” atau yang tidak
kalah parah kata “dhahar” dan “maem” yang sama-sama berarti “makan”, “kundur”
dan “wangsul” yang berarti “pulang” dan lain sebaginya. bukan saja anak muda,
bahkan orang yang sudah berumur pun banyak yang salah. jika kesalahan para
orang tua ini dibiarkan, akan berakibat kepada anak-anaknya yang pada nantinya
bisa menjadi anak-anak yang tidak sopan.
oleh
karena itu, pendidikan bahasa jawa penting dilakukan. pendidikan bahasa jawa
ini di tingkatan sekolah lebih mengutamakan pada pemahaman mengenai “semua” kebudayaan
jawa. jadi, dalam hal pemakaian bahasa yang baik dan benar hanya menjadi bagian
yang sangat kecil dari pelajaran. hal ini pernah disampaikan pula oleh Sri
Sultan Hamengkubuwana X, bahwa pengajaran bahasa jawa di sekolah lebih mendalam
kepada hal-hal yang sederhana dalam hal ini pemakaian bahasa itu sendiri
daripada meluas kepada bidang lain. hal ini agar siswa lebih dapat
mengaplikasikan hal yang lebih dekat dengan kehidupannya daripada hal lain.
bukan berarti bidang lain, semisal wayang, macapat, dan lain sebagainya lebih
rendah daripada penguasaan bahasa yang baik dan benar, hanya saja penggunaan
bahasa lebih sering dihadapi dalam kehidupan.
berbeda
halnya dengan beberapa tahun (mungkin puluhan tahun) yang lalu, di mana bahasa
jawa yang baik dan benar telah dibawa oleh siswa dari rumah atas pengajaran
orang tua sehingga di sekolah siswa tidak lagi memusingkan bagaimana bahasa
yang benar. pelajaran yang ada pun meluas kepada bidang lain. tapi pada masa
sekarang, siswa berangkat dari rumah dalam keadaan kosong dan bekal berupa tata
krama tidak ada. sehingga pihak sekolah harus menyuntikkan nilai itu pada
siswa. jika saja sekolah telah menanamkan nilai itu dalam diri siswa, siswa
dapat mencari ilmu mengenai bidang lain dengan fasilitas yang kini cukup luas
semisal dengan internet atau buku.
“wong
jawa ilang jawane”, istilah yang sering digunakan oleh masyarakat atas fenomena
yang terjadi saat ini. semoga fenomena ini tidak berlangsung lama dan segera
kembali semula di mana masyarakat jawa kembali menjadi orang jawa yang
senantiasa menjunjung tinggi kesopanan dan tata krama salah satunya dengan
bahasa. ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana,
kekuatan diri berasal dari lisan, kekuatan badan berasal dari busana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar