Rabu, 31 Desember 2014

gamelan yaiku



Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.

source : http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/performance/gamelan-show/

Selasa, 30 Desember 2014

Pitutur Jawa

Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana
: kehormatan manusia ada pada tutur katanya, kehormatan fisik
seseorang ada pada busana yang dikenakan.



Akal, akil, akel
: niat baik, tekad baik, dan perbuatan baik
: maksudnya untuk mencapai cita-cita, kita harus berpikir, berkiat,
dan bertenaga kuat.



Asah, asih, asuh
: saling mengasah (otak, keterampilan), saling mengasihi, dan saling
mengasuh (mendidik)
: berbagi pengetahuan dan kemampuan, saling mengingatkan dengan dasar
rasa kasih, dan saling mendidik (perihal sikap hubungan antara
pimpinan dan anak buah serta hubungan antarsesama).



Bhinneka tunggal ika
: berbeda itu, satu itu
: berbeda-beda, tetapi satu juga.



Gemah ripah loh jinawi
: tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya.



Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
: [berada] di depan memberi contoh sehingga dapat diteladani, di
tengah memberi dorongan semangat, dan mengikuti dari belakang dengan
memberi kekuatan dalam usaha melaksanakan tugas
: di depan menjadi pemimpin, di tengah menjadi penggerak, di belakang
menjadi pendorong.



Manunggaling kawula gusti
: bersatunya hamba (manusia) dengan Tuhannya
: menyatukan rakyat dengan pimpinan (pemerintah).



Mikul dhuwur mendhem jero
: memikul (menjunjung) setinggi-tingginya, menanam (memendam,
mengubur) sedalam-dalamnya.
: menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan memuliakan/membahagiakan
orangtua/keluarga dan mengubur dalam-dalam keburukan mereka.



Nguler kambang
: seperti ular yang mengambang.
: serba lambat.



Rawe-rawe rantas malang-malang putung
: yang berjurai (menjulur) dipotong, yang menghalangi dipatahkan.
: menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi (menghambat,
menghalangi, dsb) maksud dan tujuan.



Rumangsa melu handarbeni, wajib melu hanggondheli (hangrungkebi),
mulat sarira hangrasa wani
: merasa ikut memiliki, wajib ikut mempertahankan (bertanggung jawab),
dan berani memawas diri (semboyan Pangeran Mangkunegara III).



Sabda pandhita ratu
: sabda pendeta atau raja (yang sekali telah diucapkan harus
dilaksanakan atau harus terjadi).
: perkataan atau ucapan seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi
(pemimpin dsb) yang setelah diucapkan tidak boleh diingkari.



Segendhong sepikul
: pembagian harta gana-gini, apabila terjadi perceraian, istri
mendapat satu bagian, sedangkan suami mendapat dua bagian
: atau dalam hal warisan, anak perempuan memperoleh sepertiga bagian
dan anak laki-laki memperoleh dua pertiga bagian.



Sigra tan magita
: bertindak cepat, tapi tidak terburu-buru.



Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang
tanpa ngasorake
: kaya sekalipun tidak memiliki harta, perkasa sekalipun tidak
memiliki jimat, menyerbu sekalipun tanpa pasukan, menang sekalipun
tanpa mengalahkan.



Teklek kecemplung kalen, timbang golek aluwung balen
: daripada mencari lagi, lebih baik berdamai (kembali) dengan yg lama



Tumbu ketemu tutup
: ketemu jodohnya.



Witing tresna jalaran saka kulina
: rasa cinta tumbuh karena terbiasa.

Sastra Jawa Kuno




Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno

Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Kuno